Monday, June 20, 2011

Definisi manajemen perkotaan

Bab I.
PENDAHULUAN


1.1. Pengertian Manajemen Perkotaan

Manajemen Perkotaan (Urban Management) :
Secara Umum dapat didefinisikan adalah suatu upaya proses pelaksanaan rencana kota untuk mencapai sasaran pembangunan kota secara efisien dan efektif.

Dalam proses upaya ini tentu juga menginginkan adanya optimalisasi pencapaian tujuan dengan melalui tahapan yang tepat dan dilakukan secara terpadu.

Disadari bahwa pengelolaan suatu wilayah perkotaan sangat rumit dan kompleks, serta melibatkan banyak sektor, bidang dan stakeholder, namun secara umum Bidang pengelolaan perkotaan dapat dibagi menjadi 2 bidang yaitu, Bidang Fisik dan Bidang Non Fisik.

Yang dimaksud dengan bidang Fisik adalah segala sesuatu sumberdaya pengelolaan infrastruktur kota termasuk upaya konservasi sumberdaya alam yang berpengaruh pada pembangunan kota, sedangkan bidang Non Fisik adalah semua yang berkaitan dengan pengembangan kualitas sumberdaya manusia dan kemasyarakatan, kelembagaan, perekonomian kota dan sistem pengawasan serta pengendalian pembangunan kota.

Pada intinya pengertian manajemen kota adalah suatu upaya pengelolaan pembangunan kota yang berkelanjutan yang dilakukan dengan sistem dan strategi yang terintegrasi, holistik dan komprehensif sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran sesuai dengan rencana dan tahapan yang ditetapkan dan pada akhirnya akan mensejahterakan penduduk kota.

Penduduk kota adalah sasaran akhir pengelolaan kota diharapkan akan dapat merasa nyaman, aman dan dapat mewujudkan keinginannya dengan bebas sebagai penduduk kota yang baik.

Jadi perwujudan rasa ”Aman dan Nyaman ” dapat dikatakan menjadi obyek yang yang ingin dicapai dan ”Penduduk Kota” adalah Subyek yang akan menikmati rasa aman dan nyaman tersebut.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut pelakunya adalah semua unsur stakeholder dan tentunya termasuk penduduk kota itu sendiri.

Untuk mencapai tujuan manajemen perkotaan diperlukan sumberdaya yang dapat dipilah menjadi 3 sumberdaya yaitu sumberdaya alam yaitu wilayah kota yan ada, sumberdaya manusia yaitu penduduk kota dan unsur stakeholder dan sumberdaya buatan yaitu hasil perpaduan antara sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.
Untuk mencapai optimalisasi Pengelolaan 3 sumberdaya ini diperlukan penggunaan sistem dan strategi yang sesuai.

Sedangkan ”Perkotaan” terjemahan dari kata ”Urban” atau berasal dari kata Kota, yang dimaksud dengan ”Kota” atau Pengertian Kota sangat beragam, tergantung dari sudut mana, dan oleh siapa kota itu ditinjau. Pandangan dari sudut ekonomi akan tidak sama dengan pandangan segi sosial, Demografi, atau dari kalangan birokrasi dan lain sebagainya.
Dari pengertian Administrasi Pemerintahan kota dapat di lihat dari dasar pemikiran yang ada pada Undang – undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Antara lain ditegaskan sebagai berikut

(pasal 2)
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing – masing mempunyai pemerintahan daerah.
(2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
(pasal 14)
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten / kota merupakan urusan yang berskala kabupaten / kota meliputi :
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan
g. penanggulangan masalah sosial
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal
o. penyelenggaran pelayanan dasar lainnya dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang – undangan

Kota dalam U.U. 32 /2004 ini ditinjau sebagai suatu bentuk wilayah pemerintahan daerah yang sama tingkatanya dengan kabupaten, dan berada setingkat dibawah pemerintahan provinsi. Dari segi kewenangan pemerintahan, kota dan kabupaten adalah sama. Yang membedakan kota dan kabupaten adalah karakteristik daerahnya, kalau kabupaten bercirikan pedesaan (rural) dan kota berkarakteristik perkotaan (urban).


Ada beberapa uraian perbedaan antara Kota dan Desa antara lain :

1. Kota adalah lingkungan kehidupan dengan kosentrasi penduduk yang tinggi, karena kegiatan perekonomian non agraris yaitu industri dan jasa yang terpusat membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Dari pemikiran ini kemudian didefinisikan bahwa yang dikatagorikan kota apabila kepadatan penduduknya lebih besar dari 500 jiwa per km2.
2. Kosentrasi penduduk juga menyebabkan kosentrasi bangunan, sehingga di kota akan terdapat bangunan yang rapat oleh karena itu daerah perkotaan sering juga disebut sebagai daerah terbangun (built up area), yang menggambarkan bangunan yang rapat maupun yang bertingkat. Oleh karena itu ada yang mengambil batasan luasan daerah terbangun menjadi kriteria dari suatu daerah perkotaan.
3. Kegiatan ekonomi industri dan jasa mengakibatkan mobilitas penduduk menjadi tinggi, mobilitas tinggi ini menyebabkan lalu lintas yang sangat sibuk jika dibandingkan dengan lalu lintas yang ada di pedesaan. Lalu lintas yang sibuk ini membutuhkan jaringan jalan yang banyak. Oleh karena itu ada yang melihat kriteria jumlah dan bentuk jaringan jalan sebagai indikator daerah perkotaan.
4. Penduduk kota pada umumnya bersifat mandiri artinya cenderung untuk berjuang dengan kekuatannya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Kalau senang akan dinikmatinya sendiri, dan kalau susah akan ditanggung sendiri pula. Sifat ini sangat berbeda dengan sifat orang (masyarakat) pedesaan terutama pada desa desa yang belum banyak terpengaruh dengan kehidupan perkotaan. Di desa manusia cenderung hidup dengan penuh rasa kekeluargaan dimana susah dan senang akan dirasakan secara bersama – sama.
Ahli administrasi pemerintahan Prof. S. Pamudji MPA (1980) membuat suatu ukuran baku untuk mengukur suatu daerah atau wilayah apakah sudah dapat disebut sebagai kota. Unsur – unsur penilaiannya meliputi unsur fisik dan non fisik.
1. unsur fisik terdiri atas :
- berpenduduk lebih dari 75.000 jiwa
- penduduk yang bermata pencaharian non agraris lebih dari 50%
- luas daerah terbangun lebih dari 11 km2
- jumlah bangunan permanen lebih dari 60%
- memiliki fasilitas utilitas umum
2. Non Fisik :
- potensi keuangan daerah yg memadai
- kedudukan dalam pemerintahan
- kegiatan penduduk yang heterogen
- sifat hubungan warga masyarakat yang rasional.

Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 membuat kriteria / batasan untuk mengukur suatu daerah / wilayah perkotaan dengan indikator :
a. kepadatan penduduk lebih besar dari 500 jiwa / km2
b. jumlah rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan pertanian kurang dari 25%
c. memiliki lebih dari 8 (delapan) fasilitas umum perkotaan seperti, listrik, air bersih, sekolah, rumah sakit, lokasi pekuburan, bioskop/ gedung pertemuan, perpustakaan,bank, kantor pos, pasar, pertokoan, terminal bus, stasiun kereta api, lapangan terbang, pelabuhan dsb.

Dalam Undang – undang No 22 tahun 1948 dinyatakan ukuran kota besar yaitu kota dengan jumlah penduduk lebih banyak dari 100.000 jiwa sedangkan kota yang jumlah penduduknya dibawah 100.000 disebut kota kecil. Departemen Pekerjaan Umum (P.U) pada tahun 1982 pernah membuat klasifikasi skala kota berdasarkan jumlah penduduknya sbb :

Tabel Klasifikasi skala kota
Jenis kota Jumlah penduduk
Metropolitan Lebih dari 1 juta jiwa
Kota besar 500.000 s/d 1.000.000
Kota sedang 100.000 s/d 500.000
Kota kecil 20.000 s/d 100.000
Semi kota 3.000 s/d 20.000

Kota sebagai suatu bentuk atau bagian khusus dari suatu wilayah tempat kediaman manusia adalah suatu bagian penting yang harus direncanakan dan dikelola dengan baik. Kota memakai ruang (spatial). Sehingga perencanaan ruang kota harus juga dilakukan secara terpadu, tidak hanya mencakup penataan ruang (“Raumforchung”) saja tetapi juga perencanaan wilayah (Regional Planning). Pengertian Perencanaan wilayah termasuk pada perencanaan kota (city planning [inggris], Stedebouw [belanda], Stadtebau [Jerman]).
Fungsi kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi semakin strategis. Kota menjadi titik kontak (nodal) hubungan perdagangan, informasi, dan inovasi teknologi. Kota juga sebagai tempat (lokasi) yang paling ideal untuk penganekaragaman (diversivikasi) kegiatan ekonomi di suatu daerah atau negara

Sedangkan pengertian dasar mengenai wilayah dan daerah adalah sebagai berikut:

a. Wilayah : adalah suatu bagian dari permukaan bumi yang teritorialnya ditentukan atas dasar pengertian, batasan dan perwatakan geografis seperti Wilayah Aliran Sungai, Wilayah Hutan, Wilayah Pantai, Wilayah Negara yang secara geografis ditentukan oleh suatu batasan geografis tertentu.
b. Daerah : adalah suatu wilayah yang diartikan sebagai suatu territorial yang pengertian, batasan serta perwatakannya didasarkan kepada wewenang administrative pemerintahan yang ditentuka dengan peraturan perundangan tertentu, seperti daerah Propinsi atau daerah kabupaten dan kotamadya.
c. Kawasan: adalah suatu wilayah yang teritorialnya didasarkan kepada pengertian dan batasan fungsional yaitu bahwa wilayah tersebut dapat ditentukan teritorialnya sebagai suatu wilayah yang secara fungsional mempunyai perwatakkan tersendiri seperti kawasan industri, kawasan pusat kota atau pusat perdagangan, kawasan perkantoran, kawasan rekreasi, kawasan hutan lindung dan lain-lain.
Dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai saat ini ada kurang lebih 440 kota/kabupaten.



2.2. Latar Belakang

Sebagai suatu cabang ilmu terapan (applied science) ” Management Perkotaan ” dapat digolongkan kepada ilmu yang relatif masih baru jika dibandingkan dengan cabang ilmu terapan yang lain. Ilmu ini memadukan hampir semua cabang ilmu karena cakupan pembahasannya sangat luas, lintas sektor.
Sebelum adanya ilmu management perkotaan, pengelolaan suatu kota dilakukan dengan pendekatan oleh masing-masing sektor sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Misalnya Perencanaan Kota melakukan pendekatan dari segi arsitektur kota, dan perencanaan wilayah. Kependudukan melakukan kajian analisis dari sisi pertumbuhan penduduk,usia harapan hidup, index pembangunan manusia dsb. Pemanfaatan lahan kota melakukan pendekatan dengan Perencanaan Tata Ruang Kota dan seterusnya. Pada Manajemen Perkotaan semua pendekatan yang terpisah tersebut disatukan, bersinergi untuk mencapai tujuan pembangunan kota.

Kota, pada awalnya dikenal adalah sebagai pusat atau tempat terkumpulnya suatu komunitas dalam jumlah besar membentuk suatu populasi. Kota (city) diturunkan dari kata latin yaitu kata civita, yang berarti komunitas yang melaksanakan urusan sendiri. Dalam istilah yunani kuno komunitas bebas seperti itu disebut city-state;

Kumpulan komunitas orang dalam suatu lokasi yang kemudian disebut kota sudah ada sejak 5000 tahun yang lalu, Pertumbuhan kota kemudian berkembang pesat sejak jaman revolusi Industri pada 200 tahun yang lalu.

Banyak orang kemudian terpaksa menjadi ambivalent dalam menyikapi pertumbuhan kota. Disatu sisi tempat tinggal banyak orang yang berasal dari bermacam-macam latar belakang dalam satu lokasi, membuat orang menjadi kreatif saling membantu, saling melengkapi, disisi yang lain orang cenderung berkompetisi, egois, berdampak kepada tindakan kriminal dan berakhir pada kemiskinan perkotaan serta melebarnya ”gap” (jurang pemisah) antara orang kaya dan orang miskin.

Perekonomian kota ditunjukan dengan, fungsi kota sebagai pusat manufaktur (produsen), dan sekaligus juga sebagai lokasi pemasaran (Konsumen) dan tempat menjual eceran (retail). dan jenis pelayanan-pelayanan jasa kota juga menjalankan peran ekonomi, fungsi Ekonomi kota juga ditunjukan sebagai tempat pembangkitan tenaga kerja. Semakin besar sebuah kota maka akan semakin banyak pula fungsi yang diembannya.

Latar belakang seperti inilah kemudian memunculkan suatu ilmu terapan yang mempelajari semua aspek-aspek yang sesungguhnya dapat digabungkan karena mempunyai tujuan yang sama yaitu pengelolaan pembangunan kota.
Diposkan oleh Urban Management di 01:04 http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gifhttp://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif
Manajemen Perkotaan dan Wilayah
________________________________________

Perencanaan dan Manajemen Kota
Perencanaan dan manajemen kota di awali oleh pembangunan kota di negara-negara berkembang kurang impresif disebabkan:
• Pengendali pembangunan masih tradisional dalam bentuk rencana induk (land use planning)
• Pendekatan teknokratik, dengan proses perencanaan rasional
• Model ‘cetak biru’ memberi sedikit perhatian terhadap kebutuhan sumberdaya dan rencana implementasinya

Akibatnya, meskipun rencana kota sudah dipunyai tetapi pembangunan atau perkembangan kota tidak sesuai dengan yang tertuang dalam rencana.


Perlunya Manajemen Pembangunan
Dari deskripsi awal di atas terlihat bahwa rencana (tata ruang) kota lebih banyak mengurusi aspek fisik (lahan) ketimbang aspek lain (alokasi sumber daya, proses pengambilan keputusan), kemudian Pemerintah Daerah (PEMDA) kurang memperhatikan rencana kota di dalam proses perumusan kebijakan, dan khususnya lagi, anggaran. Selain itu, perencanaan dianggap hanya sebagai bagian dari manajemen pemerintahan kota (urban local management)


Apa Itu Manajemen Perkotaan?
Manajemen kota by definition dianggap sebagai konsep yang elusive -> tidak secara mudah mendefinisikan tetapi, secara nyata ada kebutuhan pemerintah daerah untuk berfikiran ‘manajerial’ di dalam mengelola pembangunan kota. Dengan pola pikir perencanaan adalah bagian dari manajemen, maka manajemen kota merupakan payung bagi semua perangkat pembangunan kota


Manajemen Kota: Beberapa Pengertian
Beberapa pengertian yang bisa diangkat dalam menjelaskan term manajemen kota adalah, 1) Titik temu antara birokrasi yang mengucurkan sumberdaya dan masyarakat yang memerlukan sumberdaya tersebut, khususnya prasarana dan pelayanan, 2) berkaitan dengan institusi dan orang-orang yang diberdayakan untuk mengalokasikan sumberdaya dan fasilitas, 3) seperangkat kegiatan yang secara bersama-sama membentuk dan mengarahkan pembangunan sosial, ekonomi dan sosial pada kawasan perkotaan

Parameter Manajemen Perkotaan
1. Berkaitan dengan masalah pemerintahan (Government Concern), khususnya dalam kaitan dengan pengucuran (dispensing) sumberdaya
2. Dimensi kelembagaan; bagaimana kelembagaan yang ada dapat menangani permasalahan kota yang kompleks
3. Integrasi vertikal; bagaimana mengkaitkan aspek strategis dengan aspek implementasi pembangunan; menjembatani aspek kebijakan makro dengan program dan proyek sektoral maupun inter-sektoral


Urban Management Sebagai Proses
Sebagai sebuah proses, Urban Management Seharusnya
• Merangkul semua pemain dalam proses pembangunan kota; tidak saja mengucurkan sumberdaya
• Mendorong berjalannya kekuatan penunjang pembangunan kota; bukan sekadar mengatur secara artifisial melalui rencana kota
• Secara horisontal terintegrasi -> untuk mengatasi ‘rabun dekat’ egoisme sektoral
• secara vertikal terintegrasi -> untuk mengatasi kendala rencana kota yang terlepas dari proses penganggaran dan implementasi
• Mampu untuk berlaku responsif terhadap adanya kesempatan

Elemen kunci kelembagaan
1. Integrasi penyediaan prasarana dan sarana perkotaan
• Perumahan (shelter) dan aspek yang terkait: lahan, kepemilikan, sistem transfer
• Prasarana dan sarana: jaringan jalan, sanitasi lingkungan, utilitas, telekomunikasi, fasilitas sosial
2. Integrasi kelembagaan
• Horisontal -> berkaitan dengan kelembagaan internal di dalam pemerintahan daerah (municipal government)
• Vertikal -> berkaitan dengan mengajak kolaborasi – kerjasama dengan pemain lain (masyarakat, kelompok profesi, pihak swasta, lembaga donor, pemerintah atasan)



URBAN MANAGEMENT: PARTICIPATORY URBAN GOVERNANCE

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4ION047zmFY0eTwwoA7coDwQ-4mZ42H_ZGX2i9Ot4WhVLTigCyaV4opYjgi0kHgeA3j06UBzUOrb_vr3mVpddv0ozxD6Q8JUD7EIEkfeURfZDXtUKX_VJeDTy1wbf5VXYJXCXC9dddQ-S/s320/Konsep+Kota2.JPG


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhd2Q4bQH1RsH1mFqp2eWuYMCcxK1nct1z9yeqvSIh_ZawcOHCLq6MH2DcWGEoGwTe2YouYK-p-ga1DbvbBVwu0sgnkwOs5NAMQdhlZ3qaRtvFooBfNyJ_kdN7dBU133qUk4vbWdB0UiToE/s320/Konsep+Kota3.JPG

Hubungan Antar Aktor dalam Urban Management
PENDAHULUAN


Keberhasilan pengembangan dan peremajaan kota mensyaratkan adanya rencana induk kota yang matang. Rencana ini harus mengacu, tidak semata-mata pada keinginan perencana kota, namun harus digali dari kebutuhan nyata masyarakat setempat, termasuk golongan masyarakat miskin. Pelibatan masyarakat miskin diduga akan menjadi kunci untuk memecahkan berbagai dampak perkembangan perkotaan
Ruslan Prijadi Ph.D., Kepala LMFEUI

Pada tahun 2000 penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 210,4 juta jiwa, tumbuh rata-rata 1,6% per tahun dan prosentase penduduk perkotaan meningkat dari 36,7% pada tahun 1996 menjadi 40,9% pada tahun 2000 (World Bank, 2001). Pertumbuhan penduduk kota sering tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan pokok penduduk akan rumah dan permukiman, serta sarana dan prasarana lain yang memadai. Masalah kronis yang juga menonjol dalam pengelolaan kota di Indonesia, adalah kurang adanya kepastian hukum dan lemahnya sanksi terhadap pelanggaran aturan. Dalam hal tata ruang misalnya, Pemda DKI Jakarta telah pernah menyusun Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005, namun kemudian diganti dengan Rencana Tata  Ruang Wilayah (RTRW) 2010 tanpa melakukan sosialisasi secara luas. Sementara itu sanksi atas pelanggaran aturan pelestarian lingkungan sangat jarang diberikan, padahal telah sangat banyak ketentuan tentang pemeliharaan lingkungan (Seperti UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, atau PP 51 tahun 1993 tentang Analisa Dampak terhadap Lingkungan dan sebagainya)

Masalah seperti tersebut di atas telah berlangsung lama dan diduga masih tetap akan menjadi kendala bagi manajemen kota-kota di Indonesia di masa datang. Terdapat berbagai faktor lain yang akan mempengaruhi pola manajemen perkotaan di Indonesia di masa datang. Salah satu faktor penting adalah perubahan struktur pemilikan lahan di kota-kota besar di Indonesia. Selama sepuluh tahun terakhir telah berlangsung penguasaan lahan berskala besar oleh pengembang. Namun akibat krisis ekonomi tahun 1997, kebanyakan pengembang ini mengalami kebangkrutan, sehingga lahannya  dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Saat ini, sebagian besar lahan mereka telah menjadi aset yang tidak produktif dan belum jelas pemanfaatannya.

Faktor lain adalah mobilitas tenaga kerja ke kota-kota besar (akibat krisis ekonomi tahun 1997), yang dampaknya akan semakin menyulitkan penanganan kota. Untuk mengetahui dampak krisis ekonomi terhadap mobilitas tenaga kerja, rumah tangga dan perusahan, LMFEUI membantu JICA melakukan survey di Jabotabek (1999). Salah satu temuan yang agak mengherankan adalah ada indikasi bahwa sebagian tenaga kerja justru bergerak ke dalam (bukan ke luar) kota Jakarta untuk menyambung hidup yang semakin sulit akibat tekanan krisis ekonomi. Urbanisasi seperti ini akan meningkatkan populasi masyarakat miskin kota, yang lebih lanjut dapat mempengaruhi perkembangan kota-kota besar.

Jadi, selain menghadapi masalah klasik penyediaan fasilitas kota untuk penduduk, manajemen perkotaan di masa datang harus mampu menanggulangi dampak krisis ekonomi, yaitu lonjakan jumlah masyarakat miskin kota dan terlantarnya lahan berskala besar yang bernilai strategis. Di samping itu, saat ini sedang berlangsung pergeseran paradigma pembangunan kota, didorong oleh semangat demokratisasi dan desentralisasi (UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999), tuntutan akan perdagangan bebas, kemajuan teknologi informasi serta globalisasi pasar uang dan modal. Perkembangan ini pun akan menentukan corak manajemen perkotaan di masa datang. Dilatarbelakangi perspektif ekonomi, makalah ini akan mengulas konsep manajemen kota yang perlu dikembangkan di Indonesia guna mengantisipasi berbagai faktor peubah di atas.









BAB II
PEMBAHASAN


A. Manajemen Kota (Urban Management)
Manajemen kota menyangkut kebijakan, perencanaan, program dan praktek yang mengupayakan agar pertumbuhan penduduk kota dapat ditanggulangi dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat akan sarana dan prasarana, termasuk rumah dan permukiman, serta pekerjaan yang layak (Malpezzi, 2000). Singkatnya, manajemen kota terkait dengan pemanfaatan berbagai sumberdaya dalam mengisi dimensi ruang (spatial) perkotaan guna memenuhi kebutuhan manusia.

Secara lebih spesifik, manajemen kota mencakup kegiatan penataan lahan, sarana, prasarana dan lingkungan hidup, serta keuangan daerah dan pengentasan kemiskinan (McAuslan, 1997). Ternyata manajemen kota tidak semata-mata terkait dengan penataan ruang. Karena bersumber pada kegiatan manusia, manajemen kota selalu dikaitkan dengan program pengentasan kemiskinan, kasus yang sering menyertai pertumbuhan kota. Manajemen kota pun mencakup aspek keuangan daerah, sebab dari sisi ekonomi, kota merupakan suatu entitas yang pengelolaannya membutuhkan dana dan dapat memberi keuntungan material.

Kota adalah penggerak utama kegiatan ekonomi, karena di dalamnya terkandung bermacam-ragam industri dan jasa pelayanan. Kota telah menjadi sumber kehidupan bagi berbagai kelompok masyarakat, dari yang berkeahlian sangat tinggi sampai yang tidak memiliki keterampilan apapun. Angka statistik menyatakan bahwa arus urbanisasi akan semakin meningkat. Sayangnya, memikul peran yang sedemikian penting, kota yang berkembang justru sering menjadi tempat yang tidak nyaman, penuh dengan kemiskinan dan lingkungan hidup yang berkualitas rendah.

Jelaslah bahwa kota tidak dapat dibiarkan asal berkembang tapi perlu dikelola secara baik, agar sumberdaya yang dimilikinya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Siapa yang bertugas mengelola kota? Terdapat beberapa alasan klasik bahwa perkotaan lebih baik dikelola oleh pemerintah (sektor publik) dibandingkan swasta. Pertama, sebagian besar jasa atau produk perkotaan adalah barang publik (public goods ). Contohnya jika jalur hijau dibangun di tengah kota, maka kenyamanannya dapat kita rasakan, tanpa mengurangi rasa nyaman orang lain; dan pula, semua warga dapat menikmati keindahan taman itu, terlepas apakah mereka telah atau belum membayar pajak yang dipakai untuk membangun taman tadi. Swasta tidak akan bersedia untuk memproduksi barang publik seperti itu.

Kedua, terdapat tuntutan alami untuk memonopoli berbagai jasa pelayanan kota. Misalnya, penyediaan air bersih (PAM) lebih baik dikelola dalam skala besar, dari pada ditangani oleh setiap rumah tangga dalam skala yang kecil-kecil. Tentu saja dengan perkembangan teknologi, masalah “skala ekonomi” ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Bagaimanapun, penyediaan jasa ini membutuhkan peran dari suatu institusi yang besar. Ketiga, dalam kehidupan di kota banyak ditemui eksternalitas, yaitu tindakan atau keputusan satu pihak yang dapat memberi manfaat (atau kerugian) bagi pihak lain. Andaikan sekelompok warga membuang sampah di sekitar rumah kita, maka dapat diduga bahwa nilai rumah kita akan lebih rendah dari nilai yang seharusnya. Apakah setiap rumah tangga harus membuat sendiri aturan tentang kebersihan lingkungan dan mengawasi pelaksanaannya? Tentu tidak. Kembali diperlukan bantuan pemerintah.

Akhirnya, pemerintah pun dianggap sebagai wadah penyedia informasi yang dapat mengurangi biaya transaksi. Dapat dibayangkan betapa sulit dan mahalnya biaya yang harus ditanggung masyarakat jika tidak ada kejelasan tentang aturan mendirikan bangunan, syarat tentang kualitas bahan bangunan dan sebagainya. Di sini, pemerintah diharapkan berperan memadukan berbagai informasi umum yang dibutuhkan masyarakat dan menyajikannya dalam bentuk yang mudah diakses oleh masyarakat.

Jika keempat alasan pokok di atas tidak terkendali, akan timbul suatu situasi yang dikenal sebagai kegagalan pasar (market failure), artinya sebagian masyarakat dirugikan oleh mekanisme pasar; untuk mengatasinya, diperlukan intervensi pemerintah. Di samping itu, pemerintah pun dianggap harus turun tangan dalam pengelolaan kota untuk menjamin agar hasil-hasil pembangunan kota dapat didistribusikan secara adil kepada masyarakat.

B. Paradigma Baru Pembangunan
Tampaknya peran pemerintah yang begitu dominan dalam pengelolaan kota di Indonesia akan segera bergeser. Akhir-akhir ini berkembang pola pikir yang akan mempengaruhi manajemen perkotaan di Indonesia di masa datang. Yang terpenting diantaranya adalah:
¨            Pendekatan infrastruktur ke holistik. Di masa lalu, penataan kota lebih didasarkan pada pendekatan infrastruktur. Pada tahun 1980-an, misalnya, Integrated Urban Infrastructure Development Program (IUIDP) merupakan suatu pola yang dianggap tepat untuk mendorong proses desentralisasi pembangunan di Indonesia. Program ini ditata melalui pemaduan proses pengadaan sarana dan prasarana dengan program pembangunan kota dan masyarakat secara menyeluruh (van der Hoff dan Steinberg, 1992). Di masa datang, pendekatan yang dipakai tidak semata-mata mengacu pada sarana dan prasarana, namun pada berbagai aspek lain secara menyeluruh (holistic). Akan semakin kuat penekanan bahwa pembangunan kota harus berkelanjutan (sustainable), artinya sekaligus mampu mengurangi kemiskinan, memperkuat ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan hidup di perkotaan. Cukup memprihatinkan bahwa aspek lingkungan terus menerus menjadi isu yang belum terpecahkan, padahal lingkungan telah cukup lama menjadi pusat perhatian dan telah banyak aturan tentang lingkungan yang diterbitkan.
¨            Kewenangan perencanaan serta penyelenggaraan urusan perkotaan dan wilayah yang semakin terdesentralisasi. Sejalan dengan amanat UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Keuangan Daerah, maka pemerintah pusat akan mengalihkan kewenangan manajemen perkotaan ke pemerintah daerah. Di tingkat daerah sendiri, pola dan strategi pembangunan kota akan terus bergeser ke arah pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, terjadi perubahan dari peran pemerintah dari government ke governance, ketika seluruh pihak terkait dianggap sebagai bagian dari penyelenggaraan pengelolaan kota. Pada saat bersamaan, kemampuan keuangan pemerintah yang semakin menurun akan menyebabkan kegiatan pembangunan kota makin bergantung pada kemampuan masyarakat dan pihak swasta. Peran pemerintah sebagai penyedia (provider) cenderung beralih menjadi pemberdaya (enabler) dan fasilitator. Andaipun peran pemerintah masih cukup besar, maka mereka akan dituntut untuk merubah sikapnya dari birokrat yang feodalistik menjadi birokrat yang berjiwa wiraswasta dan mampu bekerja bersama pihak terkait (stakeholders).
¨            Perubahan struktur demografi seperti penurunan angka pertumbuhan penduduk, perbaikan pendapatan, penurunan ukuran keluarga dan peningkatan jumlah anggota keluarga yang bekerja, penundaan usia perkawinan dan perubahan gaya hidup. Perubahan profil demografi akan mempengaruhi perilaku rumah tangga dalam membeli sarana transportasi, memilih rumah dan lingkungan, atau jasa lain-lainnya, yang akhirnya akan mempengaruhi bentuk perkotaan. Bersamaan dengan proses demokratisasi, perubahan profil demografi ini merupakan bagian dari proses pembentukan masyarakat baru, yang tampaknya akan lebih peduli dan mampu berbuat banyak atas bentuk dan kualitas kota yang mereka tempati.
¨            Dampak globalisasi dalam berbagai bentuk akibat tuntutan pemberlakuan pasar bebas di berbagai bidang. Proses globalisasi akan mendorong pengembangan kota-kota di Indonesia tidak semata-mata terkait dengan perkembangan kota/kabupaten di sekitarnya, namun langsung dengan perkembangan kota-kota di mancanegara. Artinya, akan terjadi persaingan antar kota atau daerah, termasuk dalam menarik masuknya modal asing atau sumberdaya lain ke kota atau daerah tersebut.
¨            Peran serta masyarakat dalam penataan ruang kawasan perkotaan merupakan suatu keharusan agar berbagai ide dan aspirasi orisinil stakeholders dapat terakomodasi secara adil dan seimbang, termasuk bagi kelompok-kelompok marginal perkotaan. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local unique) dan model kelembagaan setempat seperti misalnya melalui forum kota atau rembug masyarakat. Dalam konteks ini pembinaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah diatur melalui PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peran Serta Masyarakat yang merupakan derivasi dari UU No.24/1992.
¨            Penerapan prinsip-prinsip good urban governance secara luas dan konsisten dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Walaupun kampanye terhadap good governance di dunia telah dikembangkan sejak awal tahun 1990-an, namun bagi Indonesia, pengadopsian prinsip-prinsipnya belum mencapai taraf yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karenanya, otonomi daerah merupakan momentum yang tepat bagi para pengelola kota dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance untuk peningkatan kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat.
¨            Pemanfaatan dukungan teknologi informasi dalam proses pengambilan keputusan atau intervensi kebijakan penataan ruang telah menjadi kebutuhan yang nyata seiring dengan kompleksitas permasalahan kawasan perkotaan yang dihadapi serta tuntutan atas peningkatan pelayanan publik oleh masyarakat.
¨            Pengembangan bentuk-bentuk kemitraan antar kota-kota otonom dalam kawasan perkotaan atau antar kawasan perkotaan atau antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan menjadi pilihan strategis pada era otonomi daerah. Pilihan ini didasarkan atas kebutuhan untuk mengelola ruang kawasan – termasuk didalamnya prasarana dan sarana – secara terpadu sehingga proses delivery nya menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu pengembangan model kemitraan diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik pemanfaatan ruang lintas wilayah, menghindari terjadinya pemanfaatan ruang yang tidak sinkron pada kawasan perbatasan (hulu – hilir), serta mengurangi inefisiensi dan biaya transaksi yang terlalu besar.
¨            Pengembangan inisiatif, potensi, dan keunggulan lokal dalam perencanaan, pembangunan dan pengendalian pembangunan berbasis masyarakat (community base development). Peran pemerintah dalam hal ini lebih dititikberatkan pada upaya pemberdayaan (empowerment), penciptaan iklim yang kondusif (enabling environment) serta peran fasilitator pembangunan yang menjembatani berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat tersebut.

C. Pengelola Kota di Masa Datang
Dengan berbagai perkembangan yang disampaikan sebelumnya, jelas bahwa perkotaan masa datang akan memiliki karakteristik multi-dimensi yang kompleks,  kombinasi dari proses globalisasi dengan desentralisasi penataan kegiatan masyarakat. Perkembangan ini menuntut kesiapan semua pihak, termasuk pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Apakah peran pemerintah menjadi tidak penting? Untuk kasus di Indonesia, tampaknya pemerintah masih tetap akan menjadi aktor penting pengelola perkotaan. Namun, perannya akan berubah, pemerintah tidak akan mampu bekerja sendiri dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik swasta, masyarakat lokal, lembaga swadaya masyarakat, atau bahkan lembaga internasional.

Dalam upaya memberikan respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa mendatang, serta upaya untuk mewujudkan good urban governance, maka pada tingkat nasional ditempuh kebijakan pokok penataan ruang pada kawasan perkotaan melalui revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian rencana tata ruang yang ada. Selain itu, kebijakan penting lainnya yang dikembangkan adalah :
(a) penyiapan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah;
(b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang,
(c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public campaign dan

No comments:

Post a Comment